Nilai EQ yang tinggi mengindikasikan seseorang memiliki sikap
sosial yang baik. Artinya, dia akan bersikap sesuai norma dan aturan
yang berlaku. Kondisi sebaliknya terjadi pada mereka yang ber-EQ rendah,
yang mengindikasikan sikap antisosial dan mementingkan diri sendiri.
Seseorang dengan sikap tersebut cenderung minim manfaat bagi orang di
sekitarnya.
Gabungan nilai IQ dan EQ yang baik akan menghasilkan individu
berkualitas. Individu tersebut diharapkan bisa memaksimalkan potensi
untuk kemajuan diri dan lingkungannya. Tentu bukan perjalanan singkat
menyusun individu berkualitas tinggi tersebut.
Perjalanan sudah dimulai sejak ibu merencanakan kehamilannya tepat
seusai menikah. Hal ini berwujud pada komitmen ibu untuk selalu
mengonsumsi cukup nutrisi setiap harinya, termasuk mikronutrien.
“Konsumsi mikronutrien ibu tidak hanya menentukan kognitif, tapi juga behave
anak. Perilaku inilah yang kemudian menentukan apakah anak berkualitas
baik atau tidak di kehidupan bermasyarakat,” kata pakar kebidanan dan
kandungan, DR dr Noroyono Wibowo, SpOG (K).
Mikronutrien, kata Noroyono, berperan besar dalam penyusunan
susunan saraf walau diperlukan dalam jumlah kecil. Selama kehamilan,
susunan saraf pusat merupakan bagian yang paling awal dan akhir
dibentuk. Selama 9 bulan ibu harus memastikan cukup konsumsi
mikronutrien yang meliputi besi, zinc, folat, vitamin, kalsium,
magnesium, fosfor, dan tembaga.
Mikronutrien yang cukup akan menghasilkan sel saraf yang terbentuk
dan tersambung sempurna. Sebaliknya, kekurangan mikronutrien menyebabkan
sel saraf tidak tersusun sempurna. Padahal, kualitas sel saraf inilah
yang menentukan nilai IQ dan EQ anak.
Noroyono mencontohkan dampak kekurangan besi yang tidak sekadar
menyebabkan anemia. Defisit besi mengakibatkan buruknya sambungan
antarsel saraf (myelinasi). Myelinasi adalah selubung penyambung sel
saraf yang tersusun atas lemak dan protein.
Selubung yang baik mempercepat penyampaian informasi antarsel saraf
hingga otak dan diolah menjadi suatu respons. Sedangkan selubung yang
buruk, banyak terdapat lubang sehingga menyulitkan informasi sampai ke
otak. Bahkan bukan tidak mungkin informasi tersebut bocor dan hilang di
tengah jalan. Akibatnya tidak ada respons yang diberikan tubuh.
Selubung yang buruk akan menghasilkan individu yang berpikiran
lambat, tidak cepat tanggap, dan sulit berkonsentrasi. “Padahal respons
inilah yang menentukan kualitas IQ dan EQ anak. Anak autis tidak
memiliki myelinasi yang baik, karena itu tidak heran bila responsnya
minim,” kata Noroyono.
Buruknya kecukupan mikronutrien memudahkan seorang anak terkena gangguan kejiwaan (psychological disorder) misalnya depresi, skizofrenia, hingga bunuh diri usia dini.
Buruknya kecukupan mikronutrien memudahkan seorang anak terkena gangguan kejiwaan (psychological disorder) misalnya depresi, skizofrenia, hingga bunuh diri usia dini.
Sayangnya kecukupan mikronutrien masih minim di kalangan ibu hamil
Indonesia. Saat ini, kata Noroyono, diperkirakan ada 2,4 juta bumil yang
kekurangan zat besi dan 60 persen ibu kekurangan zinc. Padahal selain
sebagai penyusun selubung myelin, besi juga menyusun rantai energi yang
menentukan stamina anak sepanjang hidupnya. Sementara zinc memastikan
rantai DNA berfungsi semestinya dan meminimalkan mutasi.
“Kekurangan mikronutrien sesungguhnya berdampak lebih parah dari
sekadar berat badan rendah, atau organ tak sempurna. Keduanya bisa
diperbaiki, beda dengan susunan saraf yang menentukan kualitasnya di
masa mendatang,” kata Noroyono.
댓글 없음:
댓글 쓰기