2013년 11월 13일 수요일

Perfeksionis Timbulkan Banyak Masalah Diri

  Bisa dibilang, sikap perfeksionis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasalnya, sikap yang menuntut diri sempurna membuat seseorang menjadi budak dari kesuksesan. Padahal, di dunia yang bergerak cepat seperti sekarang ini, sikap yang paling dibutuhkan agar mampu bertahan adalah fleksibel dan mampu beradaptasi.

Dalam bukunya, A Nation of Wimps, Hara Estroff Marano memaparkan sikap perfeksionis punya banyak kelemahan dibandingkan sisi positifnya. Perfeksionisme yang masuk ke dalam jiwa dan kemudian menciptakan gaya kepribadian, membuat seseorang  tidak bisa menemukan apa yang benar-benar mereka suka, juga tidak bisa menciptakan identitas mereka sendiri.

Perfeksionisme juga mengurangi kesenangan dan asimilasi pengetahuan. Jika Anda selalu terfokus pada performa pribadi dan selalu membela diri sendiri, maka Anda tidak akan bisa fokus pada pembelajaran dari suatu tugas atau pekerjaan. Mengapa? Karena sikap perfeksionis membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk mengambil risiko, mengurangi kreativitas, dan inovasi.

Sikap menuntut diri sempurna juga merupakan sumber dari emosi negatif. Sikap ini tidak membuat seseorang mampu mencapai hal positif, tapi justru membuat seseorang terfokus hanya pada upaya menghindari hal-hal negatif.

Berusaha untuk menghindari penilaian buruk, melakukan kesalahan, justru hanya akan menimbulkan frustasi yang berujung pada gangguan kejiwaan seperti mudah cemas dan depresi.

Pakar mengatakan, perfeksionis tidak lahir dengan sendirinya tapi diciptakan terutama di masa kecil. Misalnya, seorang anak mendapatkan tuntutan tinggi dari orangtuanya untuk selalu mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Ini terjadi lebih karena orangtua ingin mencapai status tertentu dari prestasi atau "kesempurnaan" anak. Tuntutan ini kemudian dipahami anak sebagai kritik atas kesalahan. Anak-anak yang dituntut sempurna kerap merasa dihujani kritik setiap kali berbuat kesalahan. Perfeksionisme juga merupakan bentuk kontrol orangtua terhadap anak-anaknya.

Psikolog, Randy O Frost, yang juga adalah professor di Smith College melakukan penelitian selama dua dekade terakhir. Ia membagi dimensi perfeksionisme, di antaranya:

"Jika seseorang melakukan tugas di sekolah atau kantor lebih baik dari saya, maka saya akan merasa gagal dalam mengerjakan semua tugas"

"Saya tidak seperti orang lain yang sepertinya lebih mampu menerima standar lebih rendah dari dirinya sendiri"

"Orangtua saya ingin saya menjadi yang terbaik dalam segala hal"

"Saat kecil, saya sering dihukum jika melakukan sesuatu tidak sempurna"

"Saya ketinggalan dalam urusan pekerjaan karena saya kerap mengulangi apa yang saya lakukan demi menjadi sempurna"

"Kerapihan sangat penting bagi saya"

Frost mengatakan, setiap pernyataan tersebut menggambarkan aspek perfeksionisme berikut ini:

* Fokus pada kesalahan.
Perfeksionis cenderung menganggap kesalahan sebagai kegagalan, dan meyakini bahwa mereka tidak akan dihargai orang lain lantaran kegagalan itu.

* Standar tinggi.
Perfeksionis bukan hanya memiliki standar tinggi terhadap dirinya sendiri atau orang lain, tapi juga mengevaluasi diri dengan standar tinggi.

* Ekspektasi orangtua.
Perfeksionis cenderung meyakini orangtua mereka menuntut hasil sangat tinggi terhadapnya.

* Kritik orangtua.
Perfeksionis menyadari bahwa orangtua mereka berlebihan dalam mengkritik.

* Keraguan.
Perfeksionis sebenarnya ragu akan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

* Organisasi.
Perfeksionis kerap menekankan pada memberi perintah.

"Kebanyakan orang sukses punya standar tinggi terhadap diri sendiri. Dan mereka cenderung merasa senang," terang Frost.

Para perfeksionis, lanjut Frost, juga cenderung khawatir melakukan kesalahan. Padahal sebenarnya orang lain tak melihat ada kesalahan yang mereka lakukan.

"Mereka hanya tak merasa pasti, juga meragukan kualitas tindakan mereka," terangnya.

Menurut Frost, intoleransi terhadap ketidakpastian juga merupakan ciri obsesif kompulsif dan gangguan kecemasan umum.

Dalam studinya, Frost juga menunjukkan adanya keterkaitan antara sikap orangtua yang terlalu menuntut dan kritis terhadap sikap perfeksionis anak.

"Orangtua yang yang hanya fokus pada kesalahan membesarkan anak yang juga akan melakukan hal sama. Ada modeling berperan di sana. Juga ada efek interpersonal, yang ditransmisikan dari figur berkuasa dalam kehidupan anak yang sangat kritis dan penuh tuntutan," ungkapnya.

Fokus pada kesalahan merupakan isu utama dari perfeksionisme. Ini mendorong munculnya kondisi sikap mengkritik berlebihan, kepatuhan yang kaku, standar yang ketat, yang merupakan unsur perfeksionisme.

Alih-alih menuntut diri sempurna, sebenarnya yang lebih baik dimiliki setiap pribadi adalah keunggulan.

"Ada perbedaan antara keunggulan dan kesempurnaan," jelas Miriam Adderholdt, pengajar psikologi di Lexington, North Carolina, dan penulis buku Perfectionism: What's Bad About Being Too Good?

Keunggulan, terangnya, menekankan pada menikmati apa yang Anda kerjakan, dan merasa nyaman dengan apa yang Anda pelajari atau pengalaman yang Anda dapatkan, serta mendorong pengembangan kepercayaan diri.

Sementara kesempurnaan, lebih menekankan pada perasaan negatif terhadap sesuati dan sikap selalu mencari kesalahan meski usaha yang dilakukan telah maksimal.

Mengapa keunggulan lebih penting? Karena sikap menuntut diri sempurna hanya akan menghambat seseorang mengembangkan kemampuan sosialnya juga kemampuan mengelola emosi. Padahal, kata Frost, kedua kemampuan ini penting dimiliki sebagai bekal bertahan hidup.



Sumber :

Tentukan IQ dan EQ Anak sejak dalam Kandungan

     Seseorang tak bisa dikatakan cerdas hanya berdasarkan nilai intelligent quotient (IQ) yang dimiliki. Kadar emosi yang menentukan bagaimana dia menyikapi kondisi sekelilin, juga menjadi komponen penting kecerdasan. Penyikapan ini tercermin dalam nilai emotional quotient (EQ) yang dimiliki.
 
Nilai EQ yang tinggi mengindikasikan seseorang memiliki sikap sosial yang baik. Artinya, dia akan bersikap sesuai norma dan aturan yang berlaku. Kondisi sebaliknya terjadi pada mereka yang ber-EQ rendah, yang mengindikasikan sikap antisosial dan mementingkan diri sendiri. Seseorang dengan sikap tersebut cenderung minim manfaat bagi orang di sekitarnya.
 
Gabungan nilai IQ dan EQ yang baik akan menghasilkan individu berkualitas. Individu tersebut diharapkan bisa memaksimalkan potensi untuk kemajuan diri dan lingkungannya. Tentu bukan perjalanan singkat menyusun individu berkualitas tinggi tersebut.
 
Perjalanan sudah dimulai sejak ibu merencanakan kehamilannya tepat seusai menikah. Hal ini berwujud pada komitmen ibu untuk selalu mengonsumsi cukup nutrisi setiap harinya, termasuk mikronutrien. “Konsumsi mikronutrien ibu tidak hanya menentukan kognitif, tapi juga behave anak. Perilaku inilah yang kemudian menentukan apakah anak berkualitas baik atau tidak di kehidupan bermasyarakat,” kata pakar kebidanan dan kandungan, DR dr Noroyono Wibowo, SpOG (K).
 
Mikronutrien, kata Noroyono, berperan besar dalam penyusunan susunan saraf walau diperlukan dalam jumlah kecil. Selama kehamilan, susunan saraf pusat merupakan bagian yang paling awal dan akhir dibentuk. Selama 9 bulan ibu harus memastikan cukup konsumsi mikronutrien yang meliputi besi, zinc, folat, vitamin, kalsium, magnesium, fosfor, dan tembaga. 
 
Mikronutrien yang cukup akan menghasilkan sel saraf yang terbentuk dan tersambung sempurna. Sebaliknya, kekurangan mikronutrien menyebabkan sel saraf tidak tersusun sempurna. Padahal, kualitas sel saraf inilah yang menentukan nilai IQ dan EQ anak.
 
Noroyono mencontohkan dampak kekurangan besi yang tidak sekadar menyebabkan anemia. Defisit besi mengakibatkan buruknya sambungan antarsel saraf (myelinasi). Myelinasi adalah selubung penyambung sel saraf yang tersusun atas lemak dan protein. 
 
Selubung yang baik mempercepat penyampaian informasi antarsel saraf hingga otak dan diolah menjadi suatu respons. Sedangkan selubung yang buruk, banyak terdapat lubang sehingga menyulitkan informasi sampai ke otak. Bahkan bukan tidak mungkin informasi tersebut bocor dan hilang di tengah jalan. Akibatnya tidak ada respons yang diberikan tubuh.
 
Selubung yang buruk akan menghasilkan individu yang berpikiran lambat, tidak cepat tanggap, dan sulit berkonsentrasi. “Padahal respons inilah yang menentukan kualitas IQ dan EQ anak. Anak autis tidak memiliki myelinasi yang baik, karena itu tidak heran bila responsnya minim,” kata Noroyono.

Buruknya kecukupan mikronutrien memudahkan seorang anak terkena gangguan kejiwaan (psychological disorder) misalnya depresi, skizofrenia, hingga bunuh diri usia dini. 
 
Sayangnya kecukupan mikronutrien masih minim di kalangan ibu hamil Indonesia. Saat ini, kata Noroyono, diperkirakan ada 2,4 juta bumil yang kekurangan zat besi dan 60 persen ibu kekurangan zinc. Padahal selain sebagai penyusun selubung myelin, besi juga menyusun rantai energi yang menentukan stamina anak sepanjang hidupnya. Sementara zinc memastikan rantai DNA berfungsi semestinya dan meminimalkan mutasi.
 
“Kekurangan mikronutrien sesungguhnya berdampak lebih parah dari sekadar berat badan rendah, atau organ tak sempurna. Keduanya bisa diperbaiki, beda dengan susunan saraf yang menentukan kualitasnya di masa mendatang,” kata Noroyono.